Rabu, 05 Oktober 2011

mendidik berbasis loyalitas


Mendidik berbasis loyalitas*)
Sebuah Refleksi terhadap program sertifikasi guru dan dosen

Mendidik merupakan kata kerja yang dibentuk dari kata dasar didik. Undang undang nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional menggaris bawahi pendidikan sebagai “Pendidikan adalah usaha sadar dan  terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Bab I pasal 1 ayat 1. Kalimat usaha sadar dan terencana patut digaris bawahi, karena menunjukkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses mendidik, bukan hanya sebuah kegiatan “secara mendadak” yang bisa dilaksanakan tanpa keinginan kuat (baca: loyalitas) untuk mewujudkannya. Sedemikian pentingnya usaha yang sadar dan terencana ini, sehingga memerlukan loyalitas yang tinggi dari pelaku pendidikan di dalamnya. Bahkan karena belum tercapainya produk pendidikan yang bermutu tinggi membuat pemegang kebijakan (pemerintah cq. Kementerian pendidikan) berupaya keras mencari indikasi kekurang bermutuan, faktor penghambat dan solusinya.
Hasil penelaahan sementara ternyata lebih mengarah kepada faktor pendidik yang dituding paling berperan dalam menanggung “dosa” pendidikan. Lebih jelasnya lagi, kekurang semangatan kurang inovasi, kreasi dan menyenangkannya proses pembelajaran diakibatkan oleh kurangnya guru dalam menjalankan fungsinya untuk selalu menambah ilmu (baca: melanjutkan ke jenjang pendidikan S-1 maupun S-2) dan pengalaman belajar. Kurangnya gairah dan waktu guru untuk meningkatkan kompetensi paedagogik, psikologik, kepribadian dan sosialnya ditengarai disebabkan oleh minimnya pendapatan guru sebagai abdi Negara di bidang pendidikan di bandingkan dengan profesi lain yang juga memerlukan kompetensi khusus. Padahal sesuai amanat UU sisdiknas Bab XI pasal 39 , Pendidik didefinisikan merupakan  tenaga  profesional  yang  bertugas  merencanakan  dan melaksanakan  proses  pembelajaran,  menilai  hasil  pembelajaran,  melakukan pembimbingan dan pelatihan,  serta melakukan penelitian dan pengabdian  kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Oleh sebab itu, pemerintah mengambil kebijakan signifikan (sesuai amanat UU sisdiknas) untuk segera melakukan kegiatan sertifikasi berikut konsekuensinya bagi para pendidik. Harapan pemerintah, dengan adanya sertifikasi baik itu dengan portofolio dan LPMP (Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan) maupun melalui proses pendidikan profesi, kompetensi pendidik makin membaik dan pada akhirnya bermuara dengan membantu terwujudkan produk pendidikan yang lebih bermutu.
Sampai dengan tahun 2011 ini, sertifikasi telah berlangsung 4 tahun. Beberapa pakar pendidikan, pengawas pendidikan, masyarakat, bahkan pelaku pendidikan sendiri mulai mampu menganalisa efek dari kebijakan sertifikasi. Sebuah pernyataan yang cukup menggelitik adalah “ternyata dengan telah berlipatnya penghasilan tidak selalu berbanding lurus dengan kinerja dan peningkatan kompetensinya”. Masih banyak oknum guru sertifikasi yang disiplin waktu kerjanya belum maksimal, cara mendidiknya masih jauh dari efektif dan efisien, serta belum gemar melakukan aktivitas penambahan ilmu baik itu melalui penelitian-penelitian maupun seminar dan workhshop. Akibatnya, produk pendidikan belum banyak berubah. Jam 07.00 sebagai jam masuk kerja belum sepenuhnya terpenuhi, kelas masih banyak yang kosong dari pembelajaran bermakna (atau malah kosong karena ditinggal guru pengajarnya dengan argument yang tidak bertanggungjawab), di sela-sela jam mengajar belum banyak guru melakukan analisa pembelajaran, memetakan peserta didik, maupun menambah wawasan dengan membaca Koran/majalah/artikel dan lain sebagainya.
Kontra produktif dari adanya kebijakan sertifikasi menurut hemat penulis, bukanlah semata kesalahan pengambil kebijakan atau kebijakan yang diambil guna menyikapi amanat undang-undang. Akan tetapi lebih kepada pelaku pendidikan yang disertifikasi akan tetapi belum sepenuhnya memahami makna dan hakekat sertifikasi. Bahasa mudahnya ada indikasi loyalitas yang rendah terhadap ranah pendidikan yang membuat “usaha sadar dan terencana” tersebut belum terwujud. Usaha atau dalam bahasa arabnya ikhtiar adalah upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan suatu tujuan, yang akan bisa terpenuhi jika telah tercapai adanya loyalitas atau kesetiaan yang kuat. Loyalitas yang penulis maksud bukan pada pemimpin sekolah akan tetapi pada pendidikan itu sendiri, terlepas siapapun pemimpinnya dan bagaimanapun kondisi siswa dan persekolahan tersebut. Loyalitas berasal dari Bahasa Inggris loyality yang didalamnya mengandung dimensi Transaction, Relationship, Partnership dan Ownership (ada hubungan timbal balik, ada kerjasama, ketesiakawanan dan kepemilikan). Loyalitas juga didefinisikan sebagai setia pada sesuatu dengan rasa cinta, sehingga dengan rasa loyalitas yang tinggi seseorang merasa tidak perlu untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk orang lain/ institusi tempat dia meletakkan loyalitasnya. Intinya, dengan loyalitas akan tercipta jalinan perasaan yang akhirnya mampu merangsang fikiran, sikap dan tindakan untuk berbuat yang terbaik bagi objek tempat dia meletakkan loyalitasnya.
Pada akhirnya, sekalipun loyalitas dapat menjadi bagian dari suplemen peningkatan kinerja dan kompetensi sekaligus prestasi pendidik, namun ada baiknya untuk tetap menjaganya pada taraf yang sewajarnya. Dengan demikian akan menghindarkan dari fanatisme yang tentunya akan berakibat pada “radikalisme” persekolahan.
Salam pendidikan!

Purworejo, 27 Juli 2011  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar