Selasa, 11 Oktober 2011

serba-serbi NU

SUSUNAN PENGURUS
PIMPINAN CABANG IKATAN PELAJAR PUTRI NAHDLATUL ULAMA
KABUPATEN PURWOREJO MASA KHIDMAT 2009-2011

Pelindung                               : 1. ROIS SYURIAH PCNU KABUPATEN PURWOREJO
                                                  2. KETUA TANFIDZIAH PCNU KABUPATEN PURWOREJO

Dewan Pembina                    : 1. Ny. Maslichati Madchan A
                                                  2. Ny. Isfihani, S.Sos.
                                                  3. Ny. Siti Muniroh Shohib
                                                  4. Mudrikah, S.Ag
                                                  5. Nurul Qomariyah, S.Sos
                                                  6. Lailatul Machsunah, S.H.I
                                                  7. Nawirul Mawaddati, S.Pd

Ketua                                      : Puji Astuti
Wakil Ketua                            : Dwi Winarti
Wakil Ketua                            : Endah Murdistuti
Wakil Ketua                            : Istikhanah

Sekretaris                               : Avies Prihartati
Wakil Sekretaris                      : Halimah
Wakil Sekretaris                      : Indah Zaki
Wakil Sekretaris                      : Darul Hurmah

Bendahara                             : Qistiyani Nasikhah
Wakil Bendahara                    : Puji Suhartini
Wakil Bendahara                    : Endah Muasyaroh
Wakil Bendahara                    : Chomsah Abdi Negara


DEPARTEMEN – DEPARTEMEN
A.     Departemen Pembinaan dan Pengembangan Organisasi
1.     Wakhidah Fitriyani
2.     Dia Kartika Sari
3.     Rifa’atul Khusniyah
B.     Departemen Pendidikan dan Pengembangan Kader
1.     Dyah Ayuning Tiyas
2.     Siti Aminah
3.     Sri Utami
C.    Departemen Da’wah dan Pengembangan Lingkungan
1.     Dewi Chayati Putri
2.     Yuningsih
3.     Novianti
D.    Departemen Pengembangan Kewirausahaan
1.     Nunik Nurdiana
2.     Mutmimah
3.     Siti Zaifatus Sa’addah
LEMBAGA – LEMBAGA
A.     Pers dan Jurnalistik
1.     Nur Mu’minah
2.     Meliawati
3.     Soffatun Nisa
B.     Lembaga TKA/TPA
1.     Nurlaila
2.     Aniroh
3.     Anis Sa’adah
C.    Korp Kepanduan Putri (KKP)
1.     Ika Kurnia Astuti
2.     Berty Elliavita
3.     Makrifah


SUSUNAN PENGURUS CABANG NAHDLATUL ULAMA

KABUPATEN PURWOREJO 2009 - 2014

MUSTASYAR
KH. M. Thoifur Mawardi
KH. Abdul Ghofar Sulaiman
KH. Nur Asnawi Cholil
KH. Mas'udi Yusuf Al Hafidz
KH. Abdullah Syafqowi
KH. Masrur Afandi
SYURIAH
Rois            : KH. Habib Hasan Al-Ba'bud
Wakil Rois    : KH. Drs. Ahmad Taqwim, MA.
Wakil Rois    : KH. Djakfar Syamsudin
Wakil Rois    : KH. Ibnu Hajar
Wakil Rois    : KH. Makhin Sadzali
Wakil Rois    : KH. Drs. Moh Achadi, AS, MM.
Wakil Rois    : KH. Abdul Hadi, S.Pd.I.
KATIB
Katib           : KH. Nasihin Hamid
Wakil Katib   : K. Mahsun Afandi
Wakil Katib   : K. Sulthoni
Wakil Katib   : KH. Yusuf Rosyadi
Wakil Katib   : KH. Athoillah
A'WAN
KH. R. Dawud Muchlas, S. Pd.I.
KH. R. Dawud Masykuri
KH. Asymu'i Mawardi
KH. Muaddib Mahfudh
K. Farid Sulaiman
KH. Fathul Hanan Auladi
KH. Imam Subakir
KH. Wahib
KH. Kundari , BA.
K. Muhtarom SM
TANFIDZIYAH
Ketua              : H. A. Hamid, AK., S.Pd.I.
Wakil Ketua      : Drs. H. Moh. Ghufron Faqih, M. Ag.
Wakil Ketua      : H. M. Nur Cahyono, A. Md.
Wakil Ketua      : Drs. H. Muslikhin Madiani
Wakil Ketua      : Ali Subhan, S. Pd.I.
Wakil Ketua      : H. Achmad Chusnain
SEKRETARIS
Sekretaris         : Drs. H. Farid Sholihin MM. Pd.
Wakil Sekretaris : M. Arwani, M.Pd.
Wakil Sekretaris : Muh. Wazir, S.Ag.
BENDAHARA
Bendahara         : H. Achmad Chusaini S.Pd.I
Wakil Bendahara : H. Romli, BA.
Wakil Bendahara : H. Muttaqi






Kamis, 04/14/2011 03:54am
Ziarah Kubur
Kita telah diperintah untuk ziarah kubur, Rasulallah s.a.w. dan para sahabat juga menjalankan ziarah kubur. Jadi tidak ada dasar sama sekali untuk melarang ziarah kubur, karena kita semua tahu bahwa Rasulallah pernah ziarah ke makam Baqi’ dan mengucapkan kata-kata yang ditujukan kepada para ahli kubur di makam Baqi’ tersebut.<br /> Dalil-dalil tentang ziarah kubur
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ اْلقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
Artinya :    Rasulallah s.a.w bersabda: Dahulu aku telah melarang kalian berziarah ke kubur. Namun sekarang, berziarahlah kalian ke sana. (H.R. Muslim)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : اِسْتَأْذَنْتُ رَبِّيْ أَنْ أَسْتَغْفِر لأُمِّيْ ، فَلَمْ يَأذَنْ لِيْ ، وَاسْتأذَنْتُهُ أنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأذِنَ لِيْ
Artinya:    Dari Abu Hurairah r.a. Berkata, Rasulallah s.a.w. bersabda: Aku meminta ijin kepada Allah untuk memintakan ampunan bagi ibuku, tetapi Allah tidak mengijinkan. Kemudian aku meminta ijin kepada Allah untuk berziarah ke makam ibuku, lalu Allah mengijinkanku. (H.R. Muslim)

وَفِى رِوَايَةٍ أُخْرَى : زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَبْرَ اُمِّهِ, فَبَكَي وَاَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ (اَخْرَجَهُ مُسْلِمْ وَاْلحَكِيْم
Artinya :    Dalam riwayat yang lain dari Abu Hurairah bahwa : Nabi s.a.w. ziarah ke makam ibunya kemudian menangis lalu menangislah orang-orang sekitarnya. (H.R. Muslim [hadits ke 2256], dan al-Hakim [hadits ke 1390]).

Jadi dengan demikian, menangis di dekat kubur tidaklah berimplikasi pada kekafiran, begitu juga tidak mendatangkan siksa bagi mayit yang ditangisi.
Adapun Pendapat para ulama’ tentang ziarah kubur diantaranya:
1.    Imam Ahmad bin Hanbal
Ibnu Qudamah dalam kitabnya “al-Mughni” menceritakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya pendapatnya tentang masalah ziarah kubur, manakah yang lebih utama antara ziarah kubur ataukah meninggalkannya. Beliau Imam Ahmad kemudian menjawab, bahwa ziarah kubur itu lebih utama.
2.    Imam Nawawi
Imam Nawawi secara konsisten berpendapat dengan hukum sunahnya ziarah kubur. Imam Nawawi juga menjelaskan tentang adanya ijma’ dari kalangan ashabus Syafi’i (para pengikut Imam Syafi’i) tentang sunahnya ziarah kubur.
3.    Doktor Said Ramadlan al-Buthi
Doktor Said Ramadhan al-Buthi juga berbendapat dengan pendapat yang memperbolehkan ziarah kubur. Al-Buthi berkata, “Belakangan ini banyak dari kalangan umat Islam yang mengingkari sampainya pahala kepada mayit, dan menyepelekan permasalahan ziarah ke kubur.”

(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.



Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini meliputi:
1.
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Program pokok:
  • Pengembangan organisasi dan SDM di bidang dakwah Islamiyah.
  • Pengembangan kerukunan antar umat beragama
  • Penyebarluasan ajaran Islam yang selaras dengan semangat ahlussunah waljama'ah
  • Penggalangan kegiatan social kemasyarakatan.
Jaringan Organisasi:
  • 28 Wilayah
  • 328 Cabang
2.
Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU)
Program Pokok:
  • Pengkajian kependidikan
  • Peningkatan kualitas tenaga pendidik
  • Pengembangan pendidikan berbasis masyarakat
  • Pengembangan kurikulum pendidikan yang dapat memadukan ketinggian ilmu pengetahuan dan keluhuran budi pekerti
  • Pengembangan jaringan kerja yang terkait dengan dunia pendidikan
Jaringan Organisasi:
  • 20 Wilayah
  • 117 Cabang
Jaringan Usaha:
  • 3.885 TK/TPQ
  • 197 SD dan 3.861 MI
  • 378 SLTP dan 733 MTs
  • 211 SLTA dan 212 MA
  • 44 Universitas dan 23 Akademi/Sekolah Tinggi
3.
Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
Program Pokok:
  • Pengkajian masalah kesehatan
  • Pendidikan dan pembinaan pelayanan kesehatan
  • Penggalangan dana bagi para korban bencana alam dan kesehatan
  • Pengembangan lembaga penanggulangan krisis kesehatan.
Jaringan Organisasi:
  • 27 Wilayah
  • 100 lebih Cabang
4.
Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
Program pokok:
  • Pengkajian ekonomi
  • Pemetaan potensi ekonomi warga NU
  • Pemberdayaan ekonomi masyarakat
  • Pelatihan
Jaringan organisasi:
  • 24 Wilayah
  • 207 Cabang
5.
Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
Program pokok:
  • Pengkajian masalah pertanian
  • Pengembangan sumber daya hayati
  • Pembinaan dan advokasi pertanian
  • Pemberdayaan ekonomi petani
Jaringan organisasi:
  • 19 Wilayah
  • 140 Cabang
6.
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)
Program pokok:
  • Pengkajian kepesantrenan
  • Pengembangan kualitas pendidikan pesantren
  • Pengembangan peran social pesantren
  • Pemberdayaan ekonomi pesantren
Jaringan organisasi:
  • 27 Wilayah
  • 323 Cabang
Jaringan usaha:
  • 6.830 Pesantren
7.
Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
Program pokok:
  • Pengkajian sosial keagamaan
  • Pengembangan wawasan keluarga sejahtera
  • Pelayanan kesehatan masyarakat
  • Advokasi kependudukan dan lingkungan hidup
Jaringan organisasi:
  • 22 Wilayah
  • 50 lebih Cabang
8.
Lembaga Takmir Masjid Indonesia ( LTMI )
Program pokok:
  • Pengembangan kualitas manajemen rumah ibadah
  • Pengembangan aktifitas keagamaan masjid
  • Peningkatan fungsi social masjid
Jaringan organisasi:
  • 16 Wilayah (tingkat propinsi)
9.
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM)
Program pokok:
  • Pengkajian sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan
  • Pengembangan kreatifitas dan produktifitas masyarakat
  • Pendidikan dan pembinaan perencanaan strategis
  • Pengembangan program pembangunan sektoral
Jaringan organisasi:
  • 16 Wilayah
  • 60 lebih Cabang
10.
Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
Program pokok:
Pengembangan keorganisasian
Pengkajian masalah perburuhan
Pendidikan perburuhan
Advokasi dan perlindungan buruh
Peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya
Jaringan organisasi:
14 Wilayah
342 Cabang
135 Basis GBLP (Gerakan Buruh Lapangan Pekerjaan)
11.
Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
Program pokok:
  • Pengkajian hukum dan perundang-undangan
  • Pendidikan kepengacaraan
  • Advokasi dan penyuluhan hukum
  • Kampanye penegakan hukum dan HAM
Jaringan organisasi:
  • 1 Wilayah
  • 7 Cabang

12.
Lajnah Bahtsul Masail (LBM-NU)
Program pokok:
  • Pengkajian masalah-masalah actual kemasyarakatan
  • Perumusan dan penyebarluasan fatwa hukum (Islam)
  • Pengembangan standarisasi kitab-kitab fikih
Jaringan organisasi:
  • 31 Wilayah
  • 339 Cabang
Selain 12 Lembaga, 4 Lajnah, dan 9 Badan Otonom, khusus di tingkat pusat, NU juga memiliki Centre for Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan strategis pemerintah.




Merupakan pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus. Lajnah ini meliputi:
1.
Lajnah Falakiyah (LF-NU)
Program pokok:
  • Kajian keagamaan yang menyangkut masalah falakiyah
  • Pendidikan dan pelayanan informasi falakiyah
  • Penerbitan almanak NU
Jaringan  organisasi:
  • 5 Wilayah


2.
Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN-NU)
Program pokok:
  • Pengkajian ke-NU-an dan kemasyarakatan
  • Penulisan dan penerbitan buku-buku ke-NU-an
  • Penerbitan media massa
Jaringan organisasi:
  • 16 Wilayah


3.
Lajnah Auqaf (LA-NU)
Program pokok:
  • Pengkajian perwakafan
  • Pengembangan kualitas pengelolaan harta wakaf warga NU
Jaringan organisasi:
  • 27 Wilayah
  • 100 lebih Cabang


4.
Lajnah Zakat, Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
Program pokok:
  • Pengkajian masalah zakat, infaq, dan shadaqah
  • Pengembangan efektivitas pola pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah
Jaringan organisasi:
  • 27 Wilayah
  • 100 lebih Cabang


Merupakan pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu. Badan Otonom ini meliputi:
1. Jam'iyyah Ahli Thariqah Al-Mu'tabarah An-Nahdliyah
Program pokok:
Pengkajian ketarekatan dan keagamaan
Pengembangan ajaran tarekat mu'tabarah di lingkungan NU
Pembinaan praktek tarekat bagi warga NU
Jaringan organisasi:
15 Wilayah
200 Cabang

   
2. Muslimat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian keperempuanan dan kemasyarakatan
Pengembangan SDM kaum perempuan
Pengembangan pendidikan kejuruan
Pengembangan usaha social dan advokasi perempuan
Jaringan organisasi:
31 Wilayah
339 Cabang
2.650 Anak Cabang (setingkat MWC)
Jaringan usaha:
49 Rumah Sakit, Poliklinik dan Rumah Bersalin
8.522 TK dan TPQ
247 Koperasi (koperasi An Nisa)
Puluhan panti yatim piatu, panti balita, asrama putri, dan Balai Latihan Kerja yang tersebar di pelbagai daerah

   
3. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengembangan wawasan kebangsaan
Pengembangan SDM di bidang ekonomi, politik, IPTEK, social budaya, dan hukum
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
30 Wilayah
337 Cabang
Jaringan usaha:
INKOWINA (Induk Koperasi Wira Usaha Nasional)

   
4. Fatayat NU
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Kajian kepemudaan dan keperempuanan
Pendidikan dan penyuluhan kesehatan masyarakat
Penanggulangan krisis social, terutama menyangkut perbaikan kualitas generasi muda
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
334 Cabang

   
5. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian social kemasyarakatan
Pengembangan kreatifitas pelajar
Penggalangan dana beasiswa bagi pelajar kurang mampu
Pendidikan dan pembinaan remaja penyandang masalah social
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
265 Cabang
Jaringan Usaha:
KOPUTRA (Koperasi Putra Nusantara)

   
6. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Program pokok:
Pengkaderan dan pengembangan keorganisasian
Pengkajian social keagamaan serta masalah remaja dan kepelajaran
Pendidikan dan pelayanan kesehatan remaja
Pengembangan pendidikan bagi pelajar putus sekolah
Jaringan organisasi:
26 Wilayah
316 Cabang

   
7. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
Pemetaan dan pengembangan potensi kader terdidik NU
Optimalisasi peran dan mobilitas social warga NU
Pengkajian masalah-masalah keindonesiaan
Pengembangan jaringan kerja nasional dan internasional
Jaringan organisasi:
5 Wilayah
17 Cabang

   
8. Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Program pokok:
Pendidikan bela diri pencak silat.
Pembinaan dan pengembangan tenaga keamanan di lingkungan NU.
Pengembangan kerja social kemanusiaan
Jaringan organisasi:
15 Wilayah
110 Cabang

   
9. Jami'iyyatul Qurro wal Huffadz (JQH)
Program pokok:
Pengkajian dan pengembangan seni baca Al-Qur'an.
Pendidikan dan pembinaan qira'atul Qur'an.
Pengembangan SDM di bidang tahfidzul Qur'an.
Penyelenggaraan MTQ.
Jaringan organisasi:
27 Wilayah
339 Cabang

*Selain 10 Badan Otonom, 5 Lajnah, dan 10 Lembaga, khusus di  tingkat Pusat NU juga memiliki Centre for Strategic Policy Studies (CSPS) yang bertugas mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan strategis pemerintah


Mustasyar
Prof Dr KH Tholchah Hasan
KH Muchit Muzadi
KH Maemun Zubair
KH Ma'ruf Amin
KH Idris Marzuki
KH E Fakhrudin Masturo
KH Chotib Umar
KH Dimyati Rois
Tuan Guru Turmudzi Badruddin
Dr HM Jusuf Kalla
KH Abdurrahim Mustafa
Prof Dr KH Maghfur Usman
Prof Dr Nasaruddin Umar, MA
KH Sya’roni Ahmadi
Prof Dr Ridhwan Lubis
KH Muiz Kabri
KH Mahfudl Ridwan
Dr Ing H Fauzi Bowo
KH A Syatibi



Syuriah
Rais Am     : Dr KH MA Sahal Mahfudh
Wakil         : Dr KH A Musthofa Bisri         
Rais           : Habib Luthfi bin Hasyim bin Yahya
Rais           : KH AGH Sanusi Baco
Rais           : Dr KH Hasyim Muzadi
Rais           : KH Masduqi Mahfudh
Rais           : KH Hamdan Kholid
Rais           : KH Masdar Farid Mas’udi, MA
Rais           : KH Mas Subadar
Rais           : Prof Dr Machasin, MA
Rais           : Prof Dr KH Ali Musthofa Yaqub
Rais           : Prof Dr H Artani Hasbi
Rais           : KH Ibnu Ubaidillah Syatori
Rais           : KH Saifuddin Amtsir, MA
Rais           : KH Adib Rofiuddin Izza
Rais           : KH Ahmad Ishomuddin MAg

Katib Am   : Dr KH Malik Madani
Katib          : KH Drs Ichwan Syam
Katib          : KH Musthofa Aqil
Katib          : KH Kafabihi Mahrus Ali
Katib          : KH Yahya Staquf Cholil
Katib          : KH Shalahuddin al-Ayyubi, MSi
Katib          : KH Afifuddin Muhajir
Katib          : KH Mujib Qolyubi MHum


Tanfidziyah
Ketua Umum : Dr KH Said Aqil Siradj, MA
Wakil Ketua Umum : Drs H As'ad Said Ali
Ketua : Drs H Slamet Effendi Yusuf, MSi
Ketua : KH Hasyim Wahid Hasyim
Ketua : KH Abbas Muin, MA
Ketua : Drs H Muh.
Salim al-Jufri
Ketua : Prof Dr H Maksum Mahfudz
Ketua : Prof Dr Maidir Harun
Ketua : Drs H Saifullah Yusuf
Ketua : Drs M Imam Azis
Ketua : Drs H Hilmi Muhammadiyah, MSi
Ketua : Drs H Abdurrahman, MPd
Ketua : Drs H Arvin Hakim Thoha
Ketua : Ir HM Iqbal Sullam
Ketua : Prof Dr Kacung Marijan
Ketua : H Dedi Wahidi SPd, MSi

Sekretaris Jenderal : Dr KH Marsudi Syuhud
Wakil Sekjen : Drs H Enceng Shobirin
Wakil Sekjen : Drs H Abdul Mun'im DZ
Wakil Sekjen : Dr H Aji Hermawan
Wakil Sekjen : Dr H Affandi Muchtar
Wakil Sekjen : Dr dr Syahrizal Syarif, MPH
Wakil Sekjen : Dr H Hanif Saha Ghofur
Wakil Sekjen : Imdadun Rahmat, MA

Bendahara : Dr H Bina Suhendra
Wakil Bendahara : Dr H Zainal Abidin HH
Wakil Bendahara : Nasirullah Falah
Wakil Bendahara : H Raja Sapta Ervian, SH MHum
Wakil Bendahara : Hamid Wahid Zaini, MAg

Tradisi Mencium Tangan Kyai
Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.
Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ زَارِعٍ وَكَانَ فِيْ وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِيْنَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَهُ رَوَاهُ أبُوْ دَاوُد
Artinya :    Dari Zari’ ketika beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kita, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi s.a.w. (H.R. Abu Dawud).

عَنِ ابْنِ جَدْعَانْ, قالَ لاَنَسْ : اَمَسَسْتَ النَّبِيَّ بِيَدِكَ قالَ :نَعَمْ, فقبَلهَا
Artinya :    dari Ibnu Jad’an ia berkata kepada Anas bin Malik, apakah engkau pernah memegang Nabi dengan tanganmu ini ?. Sahabat Anas berkata : ya, lalu Ibnu Jad’an mencium tangan Anas tersebut. (H.R. Bukhari dan Ahmad)
عَنْ جَابرْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ عُمَرَ قبَّل يَدَ النَّبِيْ.
Artinya :    dari Jabir r.a. sesungguhnya Umar  mencium  tangan Nabi.(H.R. Ibnu al-Muqarri).
عَنْ اَبيْ مَالِكْ الاشجَعِيْ قالَ: قلْتَ لاِبْنِ اَبِيْ اَوْفى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : نَاوِلْنِي يَدَكَ التِي بَايَعْتَ بِهَا رَسُوْلَ الله صَلى الله عَليْه وَسَلمْ، فنَاوَلَنِيْهَا، فقبَلتُهَا.
Artinya :    Dari Abi Malik al-Asyja’i berkata : saya berkata kepada Ibnu Abi Aufa r.a. “ulurkan tanganmu yang pernah engkau membai’at Rasul dengannya, maka ia mengulurkannya dan aku kemudian menciumnya.(H.R. Ibnu al-Muqarri).
عَنْ صُهَيْبٍ قالَ : رَأيْتُ عَلِيًّا يُقبّل يَدَ العَبَّاسْ وَرِجْلَيْهِ.
Artinya :    Dari Shuhaib ia berkata : saya melihat sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan kakinya. (H.R. Bukhari)
Atas dasar hadits-hadits tersebut di atas para ulama menetapkan hukum sunah mencium tangan, ulama, guru, orang shaleh serta orang-orang yang kita hormati karena agamanya.
Berikut ini adalah pendapat ulama
1.    Ibnu Hajar al-Asqalani
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani telah menyitir pendapat Imam Nawawi sebagai berikut :
قالَ الاِمَامْ النَّوَاوِيْ : تقبِيْلُ يَدِ الرَّجُلِ ِلزُهْدِهِ وَصَلاَحِهِ وَعِلْمِهِ اَوْ شرَفِهِ اَوْ نَحْوِ ذالِكَ مِنَ اْلاُمُوْرِ الدِّيْنِيَّةِ لاَ يُكْرَهُ بَل يُسْتَحَبُّ.
Artinya :    Imam Nawawi berkata : mencium tangan seseorang karena zuhudnya, kebaikannya, ilmunya, atau karena kedudukannya dalam agama adalah perbuatan yang tidak dimakruhkan, bahkan hal yang demikian itu disunahkan.
Pendapat ini juga didukung oleh Imam al-Bajuri dalam kitab “Hasyiah”,juz,2,halaman.116.
2.    Imam al-Zaila’i
Beliau berkata :
 (يَجُوْزُتقبِيْلُ يَدِ اْلعَالِمِ اَوِ اْلمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيْلِ التبَرُكِ...
Artinya :    (dibolehkan) mencium tangan seorang ulama dan orang yang wira’i karena mengharap barakahnya.
(Disarikan dari  buku Amaliah NU dan Dalil-Dalilnya, Penerbit LTM (Lembaga Ta”mir Masjid)PBNU.




Tawassul Dianjurkan dalam Islam
Rasulullah saw bersabda: Ketika Adam mengakui kesalahannya, dia berkata: ‘Wahai Tuhanku, jika aku memohonmu atas nama Muhammad, Engkau pasti akan mengampuniku’. Lalu Allah bertanya: ‘Wahai Adam, bagaimana kau tahu tentang Muhammad sedang Aku belum menciptakannya?’ Adam menjawab:’Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepalaku, dan aku melihat di kaki ‘Arsy tertulis “Laa ilaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah”, dan aku tahu, bahwa Engkau tidak akan pernah menyambungkan nama-Mu kecuali dengan ciptaan yang sangat Engkau cintai’. Allah berfirman: ‘Kau benar wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling aku cintai, dan ketika kau memohon kepadaku atas namanya, maka Aku telah mengampunimu. Kalau bukan karena Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu”. Dalam riwayat Imam Thabrani ditambahkan:”….dia adalah Nabi terakhir dari keturunanmu”.

Bertawassul kepada Rasulullah saw sebagaimana do’a  Nabi Adam as tersebut di atas adalah sebuah bukti bahwa berdo’a dan meminta permohonan kepada Allah melalui perantara (wasilah)  bukanlah hal yang baru atau aneh, apalagi dianggap bid’ah.

Wasilah adalah segala hal yang dapat mendekatkan kepada sesuatu yang lain. Bentuk jama’ dari wasilah adalah wusul atau wasa’il. Sedangkan bentuk tunggalnya adalah tausil dan tawassul. Contohnya, “Si A bertawassul dengan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”. Maka, dia mendekatkan diri kepada Tuhannya dengn sebuah wasilah. Maksudnya, dia mendekatkan diri kepada Allah melalui perantara amal baikya.

Allah swt berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya……(QS. Al-Maidh [5]:35)

Dalam ayat lain, Allah Swt berfirman: “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang(harus) diatkuti.(QS Al-Isra’ [17]:57)

Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pertama, dibolehkannya bertawassul  kepada para Nabi dan orang-orang shaleh. Baik ketika mereka masih hidup maupun sepeninggal mereka. Kdeua, boleh juga bertawassul dengan amal baik masing-masing. Allah sendiri memerintahkan kepada kita untuk bertawassul sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat Fatimah binti Asad (ibu Ali bin Abi Thalib) wafat. Rasulullah  Saw bersabda:
اَللهُ الَّذِى يحُىْ وَيمُيِتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَيَمُوْتُ اغْفِرْ لأِ مّىِ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْ خَلَهَا ِبحَقّ ِنَبِيّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِى فَاءِنَّكَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَكَبَّرَأَرْبَعًا وَاَدْخَلُوْ هَا هُوَ وَاْلعَبَّاسُ وَاَبُوْ بَكْرٍ الّصِدّيِقِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمْ

“Allah yang menghidupkan dan yang mematikan dan Dialah yang hidup tidak mati; Ampunilah! Untuk Ibu saya Fathimah binti Asad dan ajarkanlah kepadanya hujjah (jawaban ketika ditanya malaikat) kepadanya dan luaskan kuburnya dengan wasilah kebenaran Nabimu dan kebenaran para Anbiya’ sebelum saya, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Rasulullah takbir empat kali dan mereka memasukkan ke dalam kubur ia (Rasulullah), Sahabat Abbas Abu Bakar As-Shaddiq r.a.” (HR Thabrani).

Dalam hadits di atas, Rasulullah bertawassul kepada Allah dengan dirinya sebagai orang yang paling mulia,  juga bertawassul dengan nama para Nabi sebelumnya yang berhak mendapat shalawat dan salam.

Dalam kitab Riyadlus-Shalihin bab Wadaais-shahib hadits no.3, Rasulullah SAW mengizinkan Umar bertawassul dengannya, dan menyertakan Rasulullah saw dalam segala do’anya di Mekkah ketika umrah.
عَنْ عُمَرَبْنِ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ قَالَ اِسْتَأْذَنْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى اْلعُمْرَةِ فَأذِنَ لىِ وَقَالَ: لاَتَنْسَنَا يَااُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ كَلِمَةً مَايَسُرُّنِى اَنَّ لىِ بِهَاالدُّنْيَا. وَفِى رِوَايَةِ قَالَ اَشْرِكْنَا يَااُخَىَّ فِى دُعَائِكَ. رواه ابوداود والترمذى

“Dari shahabat Umar Ibnul Khattab r.a. berkata: saya minta idzin kepada Nabi SAW untuk melakukan ibadah umrah, kemudian Nabi mengidzinkan saya dan Rasulullah SAW bersabda; wahai saudaraku! Jangan kau lupakan kami dalam do’amu; Umar berkata: suatu kalimat yang bagi saya lelah senang dari pada pendapat kekayaan dunia. Dalam riwayat lain; Rasulullah SAW bersabda: sertakanlah kami dalam do’amu”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits di atas Rasulullah meminta kepada sayyidina Umar untuk menyertakan Rasulullah dalam do’anya sayyidina Umar selama di Makkah, padahal kalau Rasulullah berdo’a sendiri tentu lebih diterima, tetapi beliau masih meminta do’a kepada sayyidinda Umar.

Rujukan lain untuk tawassul jenis ini seperti dalam kitab Sahhihul Bukhari jilid I, bahwa Sayyidina Umar Ibnul Khattab bertawassul dengan Rasulullah dan Sahabat Abbas ketika musim paceklik, sebagaimana disebutkan berikut ini:
عَنْ أَنَسٍ اَنَّ عُمَرَابْنَ اْلخَطَّابِ رَضِىَاللهُ عَنْهُ كاَنَ اِذَا قَحَطُوْا اِسْتَسْقىَ بِالعَبَّاسِبنِ عَبْدِاْلمُطَلِّبِ فَقَالَ: الَّلهُمَّ اِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ اِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَاِنَّا نَتَوَسَّلُ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا, قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.
 رواه البخارى

“Dari sahabat Anas; bahwasannya Umar Ibnul Khattab r.a. apabila dalam keadaan paceklik (kekeringan) ia memohon hujan dengan wasilah Sahabat Abbas Ibn Abdil Muthalib, maka berdo’a sayyidina Umar : Yaa Allah sesungguhnya kami bertawassul kepada Engkau dengan wasilah paman Nabi kami (Sahabat Abbas) maka berilah kami hujan, berkata Sayyidina Umar kemudian diturunkan hujan”. (HR Bukhari)

Bertawassul kepada orang-orang yang dekat kepada Allah seperti para nabi, rasul dan shalihin, bukan berarti meminta kepada mereka, tetapi memohon agar mereka ikut memohon kepada Allah agar permohonan do’a diterima Allah SWT. Sebab, seluruhnya juga adalah haq Allah, seperti disebutkan berikut ini:
لاَمَانِعَ لمِاَ أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لمِاَ مَنَعْتَ

“Tiada  yang bisa  mencegah kalau Allah mau memberi, dan tidak ada yang bisa memberi kalau Allah mencegahnya.”
قُلْ هُوَاللهُ اَحَدٌ, اَللهُ الصَّمَدُ

“Katakanlah Dia Allah yang Maha Esa dan Allah tempat meminta.”

Sesungguhnya bertawassul dengan berdo’a dan mempergunakan wasilah, baik dengan iman, amal shaleh dan dengan orang-orang yang dekat kepada Allah SWT jelas tidak disalahkan oleh agama bahkan dibenarkan. Bertawassul bukan berarti meminta kepada orang  yang dijadikan wasilah, melainkan  memohon agar yang dijadikan wasilah memberikan keberkahan untuk diterima do’a para pemohonnya.

Jadi, tidak ada unsur  syirik dalam bertawassul, karena pada saat bertawassul dengan orang-orang yang dekat kepada Allah Swt, seperti para Nabi, Para Rasul, para sholihin pada hakekatnya  tidak bertawassul degan dzat mereka, tetapi bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang sholeh.

Karenanya, tidak mungkin kita bertawassul dengan orangorang yang ahli maksiat, pendosa yang menjauhkan diri dari Allah Swt, dan kita juga tidak bertawassul dengan pohon, baru, guung, kuburan kramat dsb.

Oleh karena itu wajar saja jika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah, dalam risalahnya merasa perlu bertabayyun atau klarifikasi atas tuduhan beberapa orang yang ngatakan bahwa ia mengharamkan tawassul. Ia menuliskan “Sesungguhnya Sulaiman bin Suhaim telah berdusta terhadapku tentang banyak hal yang tidak pernah aku katakan, bahkan tidak pernah terlintas dibenakku. Di antaranya aku dianggap mengkafirkan orang-orang yang bertawassul melalui orang shaleh, aku juga dituduh mengkafirkan al-Bushiri karena mengatakan ‘wahai makhluk yang paling mulia’, aku juga difitnah membakar kitab dalailul khairat. semua itu hanya bisa aku jawab Maha Suci Engkau Ya Allah semua ini adalah dusta Besar.”   

Malahan dalam al-Fatwa al-Kubra, Syaikh Abdul Wahab menjawab ketika ditanya tentang tawassul, beliau dengan tegas menjawab “ Tidak mengapa bertawassul dengan orang-orang Shaleh ... asalkan mereka yang berdoa dengan jelas memohon seperti “aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu” atau “Dengan nama Rasul-Mu aku memohon agar...” atau “aku memohon kepada-Mu ya Allah, dengan hamba-hamba-Mu yang sholeh, semoga...” bahkan ketika mereka berdoa’a di atas kuburpun tidak ada masalah”

Wal hasil, tawassul dalam Islam dibolehkan, dan dianjurkan. Asalkan mereka yang bertawassul ini mengerti dan faham arti, serta cara-cara bertawassul. Dan sadar benar bahwa Yang Maha Kuasa hanyalah Allah swt.

Bertawassullah  dengan wasilah yang disenangi Allah, atau berdo’a dengan menyebut sesuatu yang disenangi Allah, tentu Allah akan menyenangi kita, dan meridloinya. Maka apa yang disenangi Allah, seyogyanya disebut dalam do’a. Dan tidak ada yang lebih disayangi di jagad raya ini kecuali Rasulullah saw. karena itu dalam setiap doa selalu ada sholawat dan salam kepadanya.

(Ngabdurrahman al-Jawi)




Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu
Puji-pujian didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan  bersama-sama  oleh  para  jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib atau  Isya sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah. Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Mungkin  berkat  susunannya  yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala atau masjid ke musala lainnya.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang memiliki berbagia keutamaan.
Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya  berharap semoga sayalah orangnya”.

Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah  pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Puji-pujian yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.

Obat Hati Lima Perkara

Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.

Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.

Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane
Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue
 

Syair obat hati ini kemudian diakhiri:

Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan

Mengingat Kematian

Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.

Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno wakilan’
(Panggilannya tak bisa diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)

Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya.  Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.


Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa manusia)

Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada yang menemani)

Perintah untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.

”Secerdik-cerdik manusia ialah  yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.
Faiqotur Rosidah
Pengajar di P.P Darul ‘Ulum Peterongan Jombang, sedang menyelesaikan S-2 di Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (UNESA)




Jamuan Makanan dalam Acara Tahlilan
Dalam setiap acara tahlilan, tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan. Selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada orang yang telah meninggal dunia, motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan kepada para tamu yang turut mendoakan keluarga yang meninggal dunia.

Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi Muhammad SAW:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا الإسْلَامُ قَالَ طِيْبُ الْكَلَامِ وَإطْعَامُ الطَّعَامِ. رواه أحمد

Dari Amr bin Abasah, ia berkata, saya mendatangi Rasulullah SAW kemudian saya bertanya, “Wahai Rasul, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (HR Ahmad)

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا. رواه الترمذي

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada matifaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR Tirimidzi)

Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan tegas mengatakan bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah memerdekakan budak, sedekah, istigfar, doa dan haji. Adapun pahala membaca Al-Qur'an secara sukarela dan pahalanya diberikan kepada mayit, juga akan sampai kepada mayit tersebut Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnul Qayyim, ar-Ruh, hal 142).

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghonnatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَصْمُتْ. رواه مسلم

Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.” (HR Muslim).

Seorang tamu yang keperluannya hanya urusan bisnis atau sekedar ngobrol dan main catur harus diterima dan dijamu dengan baik, apalagi tamu yang datang untuk mendoakan keluarga kita di akhirat, sudah seharusnya lebih dihormati dan diperhatikan.

Hanya saja, kemampuan ekonomi tetap harus tetap menjadi pertimbangan utama. Tidak boleh memaksakan diri untuk memberikan jamuan dalam acara tahlilan, apalagi sampai berhutang ke sana ke mari atau sampai mengambil harta anak yatim dan ahli waris yang lain. Hal tersebut jelas ridak dibenarkan. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya perjamuan itu diadakan ala kadarnya.

Lain halnya jika memiliki kemampuan ekonomi yang sangat memungkinkan. Selama tidak israf (berlebih-lebihan dan menghamburkan harta) atau sekedar menjaga gengsi, suguhan istimewa yang dihidangkan, dapat diperkenankan sebagai suatu bentuk penghormatan serta kecintaan kepada keluarga yang telah meninggal dunia.

Dan yang tak kalah pentingnya masyarakat yang melakukan tahlilan hendaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari upacara tahlil itu yang menyimpang dari ketentuan syara' maka tugas para ulama untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember


Praktik Bid'ah Hasanah para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Para sahabat sering melakukan perbuatan yang bisa digolongkan ke dalam bid'ah hasanah atau perbuatan baru yang terpuji yang sesuai dengan cakupan sabda Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang memberikan contoh perbuatan baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun. (HR Muslim)

Karena itu, apa yang dilakukan para sahabat memiliki landasan hukum dalam syariat. Di antara bid'ah terpuji itu adalah:

a. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar ibn Khattab ketika mengumpulkan semua umat Islam untuk mendirikan shalat tarawih berjamaah. Tatkala Sayyidina Umar melihat orang-orang itu berkumpul untuk shalat tarawih berjamaah, dia berkata: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini".

Ibn Rajar al- Asqalani dalam Fathul Bari ketika menjelaskan pernyataan Sayyidina Umar ibn Khattab "Sebaik-baik bid'ah adalah ini" mengatakan:

"Pada mulanya, bid'ah dipahami sebagai perbuatan yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Dalam pengertian syar'i, bid'ah adalah lawan kata dari sunnah. Oleh karena itu, bid'ah itu tercela. Padahal sebenarnya, jika bid'ah itu sesuai dengan syariat maka ia menjadi bid'ah yang terpuji. Sebaliknya, jika bidطah itu bertentangan dengan syariat, maka ia tercela. Sedangkan jika tidak termasuk ke dalam itu semua, maka hukumnya adalah mubah: boleh-boleh saja dikerjakan. Singkat kata, hukum bid'ah terbagi sesuai dengan lima hukum yang terdapat dalam Islam".

b. Pembukuan Al-Qur'an pada masa Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq atas usul Sayyidina Umar ibn Khattab yang kisahnya sangat terkenal.

Dengan demikian, pendapat orang yang mengatakan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah haram merupakan pendapat yang keliru. Karena di antara perbuatan-perbuatan tersebut ada yang jelek secara syariat dan dihukumi sebagai perbuatan yang diharamkan atau dibenci (makruh).

Ada juga yang baik menurut agama dan hukumnya menjadi wajib atau sunat. Jika bukan demikian, niscaya apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar sebagai­mana yang telah dituliskan di atas merupakan perbuatan haram. Dengan demikian, kita bisa mengetahui letak kesalahan pendapat tersebut.

c. Sayyidina Utsman ibn Affan menambah adzan untuk hari Jumat menjadi dua kali. Imam Bukhari meriwatkan kisah tersebut dalam kitab Shahih-­nya bahwa penambahan adzan tersebut karena umat Islam semakin banyak. Selain itu, Sayyidina Utsman juga memerintahkan untuk mengumandangkan iqamat di atas az-Zawra', yaitu sebuah bangunan yang berada di pasar Madinah.

Jika demikian, apakah bisa dibenarkan kita mengatakan bahwa Sayyidina Utsman ibn Affan yang melakukan hal tersebut atas persetujuan seluruh sahabat sebagai orang yang berbuat bid'ah dan sesat? Apakah para sahabat yang menyetu­juinya juga dianggap pelaku bid'ah dan sesat?

Di antara contoh bid'ah terpuji adalah mendirikan shalat tahajud berjamaah pada setiap malam selama bulan Ramadhan di Mekkah dan Madinah, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam shalat tarawih dan lain-lain. Semua perbuatan itu bisa dianalogikan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW dengan syarat semua perbuatan itu tidak diboncengi perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau pun dilarang oleh agama. Sebaliknya, perbuatan itu harus mengandung perkara-perkara baik seperti mengingat Allah dan hal-hal mubah.

Jika kita menerima pendapat orang-orang yang menganggap semua bid'ah adalah sesat, seharusnya kita juga konsekuen dengan tidak menerima pembukuan Al-Qur'an dalam satu mushaf, tidak melaksanakan shalat tarawih berjamaah dan mengharamkan adzan dua kali pada hari Jumat serta menganggap semua sahabat tersebut sebagai orang-­orang yang berbuat bid'ah dan sesat.

Dr. Oemar Abdallah Kemel
Ulama Mesir kelahiran Makkah al-Mukarromah
Dari karyanya "Kalimatun Hadi’ah fil Bid’ah" yang diterjemahkan oleh PP Lakpesdam NU dengan "Kenapa Takut Bid’ah?"



Bertawassul dengan Orang yang Sudah Mati
Kembali pada keyakinan kita, bahwa ketika seseorang mati maka yang rusak dan hancul adalah badannya atau jasadnya, sedang rohnya tetap hidup dan tidak mati. Sebab, mereka itu berada di alam barzah. Mereka telah putus segala amal perbuatan mereka untuk diri mereka sendiri. Dalam kitab Shahih Muslim juz II disebutkan;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ: اِذَامَاتَ اْلاِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ اِلاَّ مَنْ ثَلاَثٍ اِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَاِلحٍ يَدْعُوْلَهُ.
Apabila manusia telah mati maka terputuslah darinya amalnya, kecuali tiga; kecuali dari shadaqah jariyah, atau ilmu yang bermanfa’at atau anak shaleh yang mendo’akan.” (HR Muslim)
Hadits semacam ini juga termaktub dalam Sunan Tirmidzi juz III, dalam Sunan Abu Dawud juz III dan dalam Sunanu Nasa’i juz VI. Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila manusia telah meninggal dunia itu putus segala amalnya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, misalnya ahli kubur mendo’akan orang yang di dunia tidak ada keterangan yang melarang.
Adanya salam yang disampaikan Rasulullah SAW setiap melewati kubur, menunjukkan bahwa ahli kubur menjawab salam yang kita ucapkan. Dalam riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunannya, juz III, Rasulullah SAW bersabda;
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ يَاأَهْلَ اْلقُبُوْرِ يَغْفِرُاللهُ لَنَا وَلَكُمْ وَأَنْتُمْ سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِاْلأَثَرِ
Keselamatan atas engkau wahai ahli kubur, mudah-mudahan Allah mengampuni kami dan mengampuni kalian, kalian pendahulu kami dan kami mengikuti jejak kalian.” (HR Tirmidzi)
Tentu salam Rasulullah SAW dijawab oleh ahli kubur dan juga salam kita dijawab; "Mudah-mudahan keselamatan bagi engkau wahai orang yang masih hidup di dunia." Adapun do’a ahli kubur kepada kita diterima atau tidak, itu adalah urusan Allah.
Mendo’akan orang tua, kemudian orang tua di alam barzah mendo’akan kepada yang berdo’a agar selamat, hal ini tidak ada larangan dalam agama. Baik orang yang berdo’a maupun ahli kubur seluruhnya memohon kepada Allah. Perlu diingat bahwa bagi yang berdo’a di dunia, itu tidak meminta kepada ahli kubur, karena diyakini bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak bisa memberikan apa-apa.
Bertawassul dengan ahli kubur artinya agar ahli kubur bersama-sama dengan pendo’a memohon kepada Allah. Seperti ketika berdiri di depan kuburan Rasulullah SAW mengucapkan salam. Di beberapa hadits, Rasulullah menjawab salam orang yang menyampaikan salam kepada beliau.
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ
Bisa diambil pengertian bahwa Rasulullah SAW di dalam kubur juga mendo’akan para pemberi salam atau yang bertawassul.
KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar